Kupang, Voice News.Id - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT terhadap PT. Sarana Investama Manggabar (SIM) dalam Kerjasama/kontrak Bangun Guna Serah (BGS) Hotel Plago di Kelurahan Gorontalo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Diduga penetapan 3 orang pejabat PT. SIM merupakan kriminalisasi karena tak ada kerugian negara dalam kasus PHK PT. SIM oleh Pemprov NTT dalam kerjasama mitra BGS tanah Hotel Plafon.
Demikan dikatakan Penasihat Hukum PT. SIM, Khresna Guntarto, SH, M.Kn yang dimintai tanggapannya melalui hand phonenya terkait proses hukum kasus dugaan korupsi penggunaan asset tanah milik Pemprov NTT di Pantai Pede, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT terhadap PT. SIM untuk membangun Hotel Plago dengan nilai investasi sekitar Rp 25 Miliar.
“Tak ada kerugian negara dalam LHP BPK RI Nomor: 91b/LHP/XIX.KUP/05/2021. Saya duga perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh penyidik Kejati NTT tanpa dasar dan mengada-ada. Darimana jaksa menetapkan kerugian negara hingga Rp 8,5 M? Kami duga ini merupakan bentuk kriminalisasi penyidik terhadap klien kami,” tandas Khresna.
Menurut Khresna, temuan dalam LHP BPK tersebut hanya mengungkapkan adanya potensi kehilangan pendapatan Pemprov NTT dalam kasus PHK PT. SIM yang tidak sesuai ketentuan. “BPK RI juga mengungkapkan bahwa penunjukan mitra pengganti PT. SIM, yakni PT. Flobamor oleh Gubernur VBL tidak sesuai ketentuan. Tidak ada temuan kerugian negara atau rekomendasi wajib setor oleh PT. SIM,” jelasnya.
Pemeriksa BPK RI, lanjutnya, hanya mengungkapkan adanya kehilangan potensi pendapatan oleh Pemprov NTT akibat PHK tersebut karena pemeriksa mendapatkan informasi yang keliru terkait dimulainya perhitungan pembayaran kontrak BGS tersebut. “BPK RI mengira perhitungan pembayaran dimulai sejak tahun 2014, 2015 dan 2016. Padahal sesuai kontrak, perhitungan pembayaran baru dimulai sejak tahun 2017 ketika Hotel Plago mulai beroperasi,” ungkapnya.
Namun, kata Khresna, setelah pihaknya mengklarifikasi kepada BPK RI berdasarkan kontrak BGS maka hal itu diterima oleh BPK RI. “Jadi perhitungan pembayaran kontribusi mulai dihitung sejak tahun 2017. Dan selama 3 tahun berturut-turut, yakni 2017, 2018 dan 2019, klien kami membayar kontribusi sebesar Rp 255 Juta per tahun,” bebernya.
Sedangkan pada tahun 2020, jelas Khresna, terjadi pandemi covid-19 sehingga PT. SIM belum dapat membayar kontribusi tersebut. “Klien kami belum membayar karena semua usaha perhotelan dan lainnya terdampak Pandemi Covid-19 dan hal itu sudah diberitahukan kepada Pemprov NTT (sebagaimana diatur dalam kontrak jika terjadi bencana, red),” bebernya.
Mengenai nilai kontribusi dalam kontrak BGS yang dianggap rendah oleh penyidik, Khresna menjelaskan, perhitungan yang ditetapkan dalam kontrak BGS tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni dengan besaran prosentase 3,3 %. Sementara itu, Gubernur NTT, baru mengeluarkan Pergub pada tahun 2016 dengan besaran prosentase 2 %.
“Jadi besaran kontribusi dalam kontrak BGS tahun 2014 itu sudah ditetapkan sesuai Peraturan Menteri dan besaran prosentasenya diatas Pergub. Lalu bagaimana bisa dikatakan terlalu rendah? Jangan mengada-adalah,” kritiknya.
Khresna menjelaskan, perhitungan yang dilakukan oleh penyidik Kejati NTT menggunakan aturan yang baru terbit di tahun 2021 dan menggunakan NJOP tahun 2022. “Kontraknya dilakukan sejak tahun 2014 kok penilaiannya dilakukan berdasarkan aturan dan NJOP tahun terakhir. Yang benar saja. Ini yang saya bilang diduga ada kriminalisasi terhadap klien kami,” tegasnya.
Menurut Khresna, perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh penyidik Kejati NTT tidak fair dan sangat merugikan kliennya. “Nilai kerugian negara yang ditetapkan penyidik Kejati NTT sangat tidak masuk akal dan mengada-ada dengan melibatkan BPKP Perwakilan NTT. Jangan karena ada konflik kepentingan, lalu 3 orang klien kami yang dikorbankan,” kriknya.
Seperti diberitakan sebelumnya, BPK RI dalam LHP-nya mengatakan bahwa pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap PT. SIM tidak sesuai ketentuan/peraturan yang berlaku. Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT telah menetapkan 3 orang tersangka.
Namun Penasihat Hukum (PH) TDSB, Melkson Beri, SH, M.Si menduga penetapan status tersangka dan penahanan terhadap kliennya merupakan bentuk kriminalisasi. Tersangka dituduh sebagai pengguna barang dan pihak yang berperan aktif dalam negosiasi harga dan penetapan pemenang lelang Bangun Guna Serah (BGS) sehingga dituduh melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang merugikan negara/daerah hingga mencapai sekitar Rp 8,5 Miliar oleh penyidik Kejati NTT.
Padahal faktanya, kasus tersebut merupakan kasus perdata. TDSB juga tidak melakukan apa yang dituduhkan penyidik kepadanya dan masih ada atasan TDSB yang berperan aktif dalam penandatanganan perjanjian tersebut.
“Kami merasa klien kami, Ibu TDSB telah dikriminalisasi dalam kasus Hotel Plago. Sebenarnya kasus tersebut merupakan kasus perdata. Klien kami juga tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Apakah klien kami yang hanya seorang kepala bidang (kabid) harus menanggung apa yang dilakukan atasannya? Ini sangat tidak adil dan sangat merugikan klien kami,” tandas Melkson.
Menurut Melkson, kliennya TDSB yang hanya sebagai seorang Kepala Bidang tidak pantas untuk memikul tanggungjawab para atasannya yang telah meninggal dunia. Apalagi kliennya sebagai Sekretaris Panitia Lelang telah menjalankan tugasnya dengan melakukan pengumuman lelang di Koran Harian Pos Kupang dan Papan Pengumuman Dinas Pendapatan dan Aset Daerah.
Pelelangan dilakukan sebanyak 2 kali. Namun hanya PT. SIM yang memasukan penawaran sehingga perusahaan itu ditunjuk oleh Gubernur NTT sebagai pemenang tender. Negosiasi harga yang ditetapkan kliennya TDSB pada tahun 2014 sebesar 3,33 % dari nilai bangunan. Nilai tersebut lebih besar 1,33 % dari SK Gubernur yang ditetapkan tahun 2016.
Menurut Melkson, klienya juga bukan pengelola barang seperti dituduhkan jaksa karena pengguna barang sebenarnya adalah Kadis Pendapatan dan Aset Daerah. Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah adalah Sekda NTT. Sedangkan Gubernur adalah penanggungjawab barang daerah karena itu, kontrak BGS tersebut ditandatangani oleh Gubernur NTT. (fian/redi/pace)