GUNUNG Kelimutu terkenal dengan Danau Tiga Warna
di kawah gunung yang penuh misteri itu. Menurut cerita dan kepercayaan
warga setempat, Gunung Kelimutu merupakan 'pintu' bagi para arwah manusia
menuju surga dan neraka, benarkah?Sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, masyarakat yang bermukim di
lereng gunung Kelimutu telah meyakini gunung itu sebagai tempat tujuan
akhir bagi arwah (roh/jiwa orang yabg telah meninggal dunia) dari orang Lio
(salah satu suku di Pulau Flores, NTT, red).
Hal itu tercermin dalam bahasa/syair yang sering diucapkan orang Lio bagi orang
yang telah meninggal, “Kai mutu gu, ia pawi dowa” (Dia sudah dipanggil Mutu dan
Ia).
Mutu adalah Gunung Kelimutu dan Ia adalah Gunung Ia. Keduanya adalah nama
gunung berapi di Kabupaten Ende, NTT. Atau dalam kalimat, “Kai mbana dowa da
ghele mutu” (Dia sudah pergi ke Mutu).
Keyakinan tersebut pada tahun 1970-an, . pernah diekspresikan lewat lagu Lio,
yang berjudul “Mbulu”. Dalam lagu tersebut terdapat sepotong syair, “Mbulu, kau
mbana ghele Mutu. Kau mula welu muku e” (Mbulu, kau pergi ke Mutu. Kau tanamkan
pisang (untuk kami)).
Keyakinan tersebut kian menguat seiring banyaknya misteri yang dialami di
Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya. Beberapa diantaranya diceritakan dalam
tulisan ini.
Berpapasan dengan Arwah
Kita awali cerita ini dari kaki Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya. Bagi
masyarakat di kawasan Wiwi Pemo, di kaki selatan, kampung Moni, Lia Sembe dan
Waturaka di kaki timur juga dikampung Manukako dan Pemo di lereng selatan
Kelimutu bukanlah peristiwa yang luar biasa jika mereka berpapasan dengan
arwah.
Peristiwa itu sudah sering mereka alami. Tidak saja saat senja, tetapi juga
pada pagi dan siang hari. Sangat sering peristiwa itu mereka alami dalam
kegiatan keseharian mereka.
Di pagi hari dalam perjalanan menuju ladang, warga tidak jarang bertemu dengan
orang asing yang sedang beristirahat. Orang itu kadang sendirian, kadang
juga bersama beberapa orang. Ketika berpapasan, orang asing itu
menanyakan berapa jauh lagi jarak ke Kelimutu.
Kadang orang asing itu juga meminta air kepada warga karena kehausan. Air
itupun diminum layaknya manusia biasa. Warga hanya tertegun ketika mendapat
kabar bahwa di kampung lain ada yang meninggal. Ternyata yang diberinya minum
tadi adalah arwah (Roh orang yang telah meninggal dunia, red).
Arwah – arwah itu juga sering berpapasan dengan para ibu di kampung-kampung di
sekitar Gunung Kelimutu di kala mereka sedang mencuci di kali. Konon, karena
tidak tahan panas, maka pada siang hari arwah-arwah itu memilih melintas
di kali-kali di sekitar kampung itu.
Saat arwah-arwah itu melintas biasanya pada jam dua belas siang. Karena itu
para ibu di kampung-kampung du sekitar Gunung Kelimutu selalu menghindar untuk
mencuci pada jam-jam itu.
Kalau arwah itu laki - laki, biasanya mereka terus melintas tanpa mengusik sang
ibu yang sedang mencuci. Namun kalau arwah itu perempuan, apalagi orang
tersebut dikenal baik, maka mereka akan beristirahat sejenak dan bertukar
cerita dengan sang ibu layaknya manusia biasa.
Ibu itu tidak percaya saat tiba dikampungnya disampaikan bahwa kenalan baiknya
meninggal dunia. Mana mungkin, sanggah sang ibu orang itu baru saja bercerita
dengannya dikali sambil menggendong bayinya. Ibu itu kaget kalau kenalanya itu
meninggal saat melahirkan. Hiii .... ngeri.
Pengalaman “seram” di siang hari juga sering dialami warga kampung
Manukako dan Pemo yang berladang di lereng Gunung Kelimutu. Karena mereka
umumnya membudidayakan kentang, wortel, jahe, jeruk, dan pisang, maka ladang
mereka sering disinggahi para arwah.
Menempuh perjalan jauh dari tempat asalnya rupanya membuat arwah-arwah itu
lapar. Tanpa malu-malu arwah-arwah itu meminta pisang, jeruk, bahkan kentang
untuk dibakar dan dimakan. Warga pun memberikannya tanpa curiga. Sekembalinya
dikampung barulah diketahui bahwa yang mampir tadi adalah “tamu dari
dunia lain”.
Dibanding saat pagi dan siang, saat tanga sala nia ngata (senja) adalah saat
warga paling sering berpapasan dengan arwah. Menurut kepercayaan setempat,
arwah sengaja memilih berjalan saat senja, karena matahari telah tenggelam
sehingga panasnya tidak terasa lagi.
Di samping itu, temaran senja menyulitkan orang untuk mengenali wajahnya dengan
baik. Sehingga sulit bagi warga untuk membedakan mana warga setempat dan mana
yang arwah.
Pernah terjadi di suatu
kampung, karena dingin, warga lalu menyalakan api di tepi jalan untuk berdiang.
Sambil berdiang mereka mengobrol tentang kejadian sehari-hari yang mereka
alami. Karena sudah larut malam, mereka pun bubar dan pulang ke rumah
masing-masing.
Namum alangkah
terkejutnya orang-orang itu ketika mereka mendapati mereka hanya tinggal
berenam sedangkan saat berdiang tadi jumlah mereka tujuh orang. Rupanya ada
arwah yang ikut berdiang.
Karena Gunung Kelimutu dan kampung-kampung di sekitarnya berhawa dingin, maka
sang arwah memilih untuk berdiang sesaat untuk menghangatkan tubuh
sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Kelimutu.
Pere Konde
Pere Konde (Pintu milik Konde). Disebut Pere Konde karena pintu tersebut milik
Konde Ratu, sang penguasa Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya.
Bagi kalangan beragama, pintu tersebut sama halnya seperti pintu surga. Tempat
untuk memutuskan seseorang layak masuk surga atau neraka. Pere
Konde adalah tempat untuk menentukan apakah seseorang sudah layak untuk masuk
ke Kelimutu atau belum. Jika dinilai layak, maka diputuskan pula di danau
manakah arwahnya layak ditempatkan. Setelah mendapat penempatan baru
dipersilahkan untuk masuk.
Pere Konde dijaga oleh Konde sendiri. Ketentuan yang telah ditetapkan olehnya
tidak dapat dingganggu gugat oleh para arwah. Konon diceritakan ada arwah yang
mencoba menentang keputusan Konde. Oleh Konde, arwah itu tidak diijinkan untuk
masuk ke puncak Kelimutu, juga tidak dijinkan untuk kembali ke badannya
semula. Akibatnya arwah itu jadi arwah penasaran.
Arwah penasaran inilah yang sering mengganggu orang-orang yang sering melakukan
kegiatan di sekitar Pere Konde. Para pekerja yang memperbaiki jalan akses ke
Kelimutu sering mengalami hal ini. Kadang saat mengangkut material untuk
pengerjaan jalan itu, para sopir dan pekerja melihat ada kepala menggelinding
di tengah jalan.
Ada juga yang melihat kaki-kaki manusia bergelantungan di atas pohon. Jika para
sopir melihat hal itu, mereka mematikan mesin kendaraan lalu menyalakan rokok.
Rokok itu dibuang ke arah “penampakan” itu terjadi. Lalu melanjutkan
perjalanannya.
Berkaitan dengan kewenangan Konde tersebut, ada arwah yang ditolak oleh Konde
karena dinilai belum layak atau belum saatnya. Hal itu bisa diketahiu dari
cerita orang yang koma, atau sudah mati untuk beberapa saat dan hidup kembali.
Menurut orang itu, dirinya sudah tiba di Pere Konde dan sempat bertemu dan
disambut dengan penuh sukacita oleh arwah para leluhur. Tidak berapa lama
disana, Konde yang menyerupai wajah para leluhur itu memintanya untuk kembali
ke kampungnya dengan berbagai alasan. Orang itu pun pulang dan hidup kembali.
Sementara bagi arwah yang diijinkan oleh Konde untuk masuk ke Kelimutu,
dipilahnya menjadi tiga bagian. Bagi orangtua yang selama hidupnya selalu
mengamalkan nilai-nilai warisan dan selalu baik kepada orang lain, oleh Konde
ditempatkan pada danau yang berwarna putih (kini berwarna hijau kehitaman).
Danau itu selanjutnya diberi nama Tiwu Ata Bupu.
Sedangkan bagi kaum muda, yang meskipun tahu nilai-nilai warisan leluhur, namun
karena darah mudanya dia sering memberontak dan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, ditempatkan Konde pada danau yang
berwarna biru (kini berwarna hijau pupus). Karena dihuni oleh kaum muda, maka
danau ini dinamakan Tiwu Ko’o Fai Nuwa Muri.
Bagi orang-orang yang selama hidupnya sama sekali mengabaikan nilai-nilai
warisan dari leluhur, dimana dengan ilmu santet yang dimilikinya dia biasa
membuat orang sakit, membuat orang gila, bahkan membunuh orang, maka oleh Konde
dia ditempatkan di danau yang berwarna merah (kini berwarna hijau pupus).
Karena danau itu ditempatkan untuk para Ata polo (tukang santet, maka danau itu
dinamakan Tiwu Ata Polo. Di danau itulah mereka mendapatkan pembalasannya.
Mereka akan mengalami penyiksaan yang tiada akhir dan dan penderitaan
yang abadi.
Bagi warga yang hendak menyaksikan keindahan ke tiga danau di puncak
Kelimutu hendaknya mawas diri jika sudah tiba di Pere Konde.
Letaknya di sebuah tikungan setelah pos penjagaan jawagana yang terakhir. Para
pengunjung sangat dianjurkan untuk tidak bersuara keras atau berteriak. Konon,
jika berteriak, Konde yang sedang melaksanakan tugasnya akan terganggu. Jika
Konde terganggu maka pengunjung yang bersangkutan akan mendapat balasannya,
entah itu menceret, meriang, bahkan pingsan mendadak.
Hal lain yang juga harus
diingat oleh pengunjung adalah jangan menginginkan makanan atau
minuman jika sedang berada di Pere Konde. Karena tanpa sepengetahuan
pengunjung, tiba-tiba ada seorang yang menawarkan makanan dan minuman yang
diinginkan itu. Jika sang pengunjung memakan atau meminum apa yang ditawarkan
itu, maka dijamin tidak berapa lama lagi arwah sang pengunjung akan kembali ke
Kelimutu alias meninggal dunia.
Dia telah bersedia menikmati makanan dan minuman dari Kelimutu. Berarti
arwahnya sudah siap untuk dipanggil ke Kelimutu.
Kampung Arwah di Puncak
Kelimutu
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pernah dibangun sebuah pasanggrahan di
puncak Kelimutu. Pasanggrahan itu dilengkapi dengan penjaganya. Para pimpinan
pemerintahan Belanda itu biasanya berangkat dari Ende pada sore hari
seusai melaksanakan tugasnya dan pada malam harinya menginap di pasanggrahan.
Mereka menginap dengan tujuan untuk menikmati terbitnya matahari di puncak
gunung itu. Jika tamu-tamu itu ada, maka malam hari dipuncak Kelimutu
adalah malam yang sunyi yang hanya diramaikan oleh suara binatang malam.
Namun pada saat tamu-tamu itu sudah kembali ke Ende, malam-malam di puncak
Kelimutu adalah malam yang sangat menyiksa bagi para penjaga pasanggrahan itu.
Suasana di sekitar pasanggrahan itu layaknya kampung besar. Terdengar suara
orang yang memanggil anaknya atau suara orang yang memanggil babi peliharaanya.
Suara-suara lain terdengar berbincang yang di selai dengan tawa riang. Juga ada
suara orang yang menyanyi, meniup suling yang diiringi irama pukulan
gendang. Namun herannya ketika mereka keluar, mereka mendapati tidak ada
siapa-siapa di luar pesangrahan itu.
Karena takut, para penjaga memilih untuk kembali ke kampungnya setelah
tamu-tamu itu pergi. Setelah merdeka, tidak ada tamu yang berani untuk menginap
di pasanggrahan itu hingga akhirnya rusak.
Lain lagi dengan orang yang mencari ilmu dengan mencoba bertapa di puncak
kelimutu. Menurut penuturan orang itu, pada sore harinya tidak terjadi apa-apa
di sekitar tugu, tempatnya duduk. Ketika malam kian larut, situasi di
sekitarnya mulai terdengar ramai. Saat dia membuka mata, tampaklah orang-orang
tua sedang duduk berdiang di perapian yang terdapat di Tiwu Ata Bupu.
Mereka tampak bersenda gurau sambil memakan ubi yang sudah dibakar di perapian
dan meminum moke. Ada diantaranya yang menyodorkan ubi dan moke kearahnya namun
dia menolak.
Di Tiwu Ko’o Fai Nuwa Muri tampak sekelompok anak muda sedang bernyanyi dan
menari dengan riangnya. Rupanya mereka sedang berpesta. Di salah satu meja
tampak terhidang daging dan aneka minuman keras.
Beberapa diantaranya sedang mabuk. Mereka menari sambil terhuyung-huyung. Ada
seseorang dari antara yang mabuk itu yang mengulurkan segelas minuman keras
kepadanya, namun dia menolaknya.
Ketika pandanganya dialihkan ke Tiwu Ata Polo, tampak banyak kepala yang
menyembur dari danau yang berwarna merah darah itu. Mereka berteriak dan
mengangis pilu karena tidak kuat menahan penyiksaan dan penderitaan abadi
di dalam danau itu. Mulut dan gigi mereka di penuhi darah. Terlihat mereka
sedang mengunyah potongan-potongan daging. Seseorang menyodorkan sepotong
daging kearahnya.
Astaga, tampak jari-jari tangan manusia. Ternyata yang mereka kunyah itu
daging manusia. Melihat itu sang pertapa pun lari terbirit-birit meninggalkan
puncak Kelimutu menuju kampung terdekat.
Jika kita menyimak fakta-fakta dan kejadian-kejadian aneh di Gunung Kelimutu
dan sekitarnya dengan ‘kacamata’ ilmu pengetahuan, kita akan menyimpulkan bahwa
cerita-cerita itu adalah mitos.
Kalau dipikir secara rasional, Kelimutu hanyalah sebuah gunung yang tidak
ada bedanya dengan gunung-gunung yang ada di wilayah kabupaten Ende, kalau pun
puncaknya terdapat tiga danau berbeda warna, itu semata hanya terjadi karena
gejala alam. Lalu untuk apa kita mempercayai cerita-cerita seperti itu?
Jika kita ingin ‘membedah’ cerita tentang Kelimutu secara rasional maka timbul
pertanyaan, mengapa hingga kini tidak ada penjelasan rasional tentang hilangnya
beberapa wisatawan mancanegara di puncak Kelimutu? Mengapa dalam upacara
pencarianya harus menggunakan upacara adat, yang dianggap kuno dan mitos
sebagai salah satu upaya dalam pencarian wisatawan tersebut.
Mengapa seorang wisatawan yang biasa membawa perlengkapan untuk dapat bertahan
dalam keadaan darurat, tidak dapat menyelamatkan diri di puncak Kelimutu bahkan
jenazahnya pun tidak ditemukan?
Apakah karena dia telah melanggar aturan yang berlaku dan membuat Konde marah?
Biarlah alam yang menjawabnya.
Kalau kita bertanya, apakah ilmu pengetahuan bisa menjelaskan definisi
dari roh/jiwa/arwah manusia? Dari mana asalnya? Ke mana roh/jiwa/arwah
manusia akan pergi setelah meninggal dunia? Apakah surga dan neraka? Dimana
letaknya?
Sudah pasti Ilmu Pengetahuan tak dapat menjawabnya. Bukankah ilmu pengetahuan
itu itu terbatas karena merupakan hasil pemikiran dari manusia yang punya
keterbatasan?
Kita hanya bisa menjawab rentetan pertanyaan itu dengan ‘kacamata’ iman dan
kepercayaan kita masing-masing. Karena, ilmu pengetahuan manusia tak
mungkin dapat menjangkau kuasa Tuhan Pencipta Alam semesta. (Stefamus Bata)